Antara Demonstrasi dan Sesat Pikir
Pada tanggal 8 Oktober lalu, aksi mahasiswa membludak di
seluruh Indonesia. Aksi yang menyuarakan bahwa isi UU Omnibus Law Ciptaker ini hanya menguntungkan kaum borjuis, kaum
proletar di diskreditkan. Aksi penolakan ini juga banyak memakan korban. Ada
mahasiswa yang hilang dan juga mahasiswa yang harus dioperasi kepalanya
dikarenakan terkena lemparan batu dari aparat kepolisian.
Aksi
mahasiswa ini banyak di dukung oleh para aktivis dan pengamat politik.
“Mahasiswa turun ke jalan serentak di seluruh Indonesia wujud panggilan
sejarah. Menurut sy telah lahir sebuah angkatan baru, “Gerakan Mahasiswa 2020”.
Di tengah depresi, resesi n pandemi, gerakan mahasiswa ini menghadapi berbagai
risiko perjuangan. Mereka akan menghela sejarah”. Kata Fadli Zon dalam feeds
instagram miliknya pada tanggal 9 Oktober 2020. “Pembasmian berdalil
pembangunan, Otoritarianisme berbaju legislasi”. Kata Haris Azhar dalam caption instagram miliknya pada tanggal
5 Oktober 2020. Akan tetapi, meskipun banyak yang mendukung, tidak sedikit
mahasiswa yang melakukan aksi hanya ikut-ikutan atau karena dia tersentuh
hatinya. Hingga ia lupa menggunakan akalnya untuk menolak UU Cilaka ini. Ada
yang mengatakan bahwa jumlah mahasiswa yang sangat banyak turun ke jalan adalah
bukti bahwa UU Cilaka sudah menindas rakyat tanpa paham apa yang ada dibalik UU
Cilaka ini. Jadi mereka hanya menilai bahwa yang banyak adalah pemenang. Hal
ini adalah sesat pikir yang sudah dianggap biasa oleh khalayak umum. Tipe sesat
pikir ini adalah Bandwagon, yakni
sesat pikir ketika seseorang beranggapan bahwa sesuatu itu benar karena
mayoritas orang memiliki pendapat yang sama dengannya. Padahal, tidak ada dasar
yang logis untuk pernyataannya.
Banyak
juga mahasiswa yang aksi menjatuhkan mahasiswa yang tidak turun ke jalan.
Mereka banyak yang mengatakan bahwa mahasiswa yang tidak turun ke jalan adalah
seekor ayam. Ketika pernyataannya disanggah oleh mahasiwa yang tidak aksi
justru dia terus menyerang dengan menyebutnya seekor ayam. Hal ini tampak
terlihat biasa saja, the ordinary inform.
Padahal hal tersebut adalah sesat pikir denga kategori Ad Hominem yakni sesat pikir ketika seseorang sedang berdebat tapi
justru menyerang kepribadian, latar belakang maupun etnis, bukan justru
menyerang argumen dari si lawan debat.
Ada juga
mahasiswa yang mengatakan bahwa UU Omnibus
Law Ciptaker ini adalah hasil dari counter
issue pandemi COVID-19. Mereka asal ucap tanpa dibuktikan dengan data-data
yang scientific. Sesat pikir kategori
ini disebut Post Hoc. Post Hoc adalah
kategori sesat pikir ketika kita yakin bahwa suatu peristiwa saling berhubungan
karena kejadiannya berdekatan waktunya. Sederhananya, lantaran A terjadi
sebelum B, berarti A yang menyebabkan B, sementara keyakinan ini tanpa didukung
oleh bukti yang kuat. Tapi, jika mahasiswa tersebut telah mengumpulkan data
sebagai bukti bahwa pandemi COVID-19 adalah counter
issue dari sahnya UU Cilaka, maka pernyataannya bisa dijadikan dalil.
Karena critical thinking tanpa
didukung oleh scientific thingking
hanyalah statement yang ngambang,
tidak bisa dijadikan dalil yang kuat.
Akan
tetapi, mahasiswa yang turun ke jalan adalah mahasiswa yang terpilih idealisme
nya meskipun hanya sekedar mengepalkan tangan membantu orator. Karena di dunia
ini, matematika ilmuwan masih dipakai. Jadi, jumlah sangat berpengaruh terhadap
power legacy yang akan menentukan
diterima atau ditolaknya aksi mahasiswa yang turun ke jalan.
Comments
Post a Comment